Dia mencontohkan bangkitnya perekonomian Jepang pascabom Hiroshima pada tahun 1945 itu karena dukungan sektor UMKM.
Dengan demikian, ketika ada intervensi Eropa terhadap Jepang, kegiatan industri yang didukung oleh sektor UMKM di negara itu tetap berjalan.
“Negara-negara lain (termasuk Indonesia) juga begitu. Rata-rata memang sektor UMKM yang bertahan di tengah krisis ekonomi.” Kata dia yang juga menekuni industri kerajinan bambu.
Terkait dengan UMKM yang digelutinya. Toni mengaku jika saat ini, usaha batik Rajasa Mas dan kerajinan bambu Raja Serayu yang dikelola bersama istrinya telah menembus pasar ekspor.
“Alhamdulillah negara-negara di Afrika bagian selatan sangat kompeten sekali dengan produk batik kita walaupun harganya yang murah-murah. Ekspor tersebut saya lakukan secara langsung, saya langsung ketemu dengan buyer.” katanya.
Ia mengakui ekspor batik ke negara-negara di Afrika bagian selatan baru sebanyak dua bal. Karena masih dalam tahap penjajakan sehingga nilainya belum berani besar, yakni berkisar Rp100 juta hingga Rp200 juta.
Sementara untuk usaha kerajinan bambu, pihaknya sedang melakukan negosiasi ekspor ke sejumlah negara di Eropa rata-rata sebanyak 5.000 buah.
“Itu memang sesuai dengan kapasitas satu kontainer yang besar, rata-rata 5.000 buah kerajinan bambu. Nilainya sekitar Rp500 juta.” Jelasnya.
Sejak tahun 2017, kerajinan bambu Raja Serayu telah menembus pasar Arab Saudi berupa keranjang dan China berupa lampion. “Sejak 2017 sudah delapan kontainer yang diekspor.” Katanya.
Lebih mampu menghadapi ancaman krisis karena UMKM
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) Ahmad Darmawan menilai Indonesia akan lebih mampu menghadapi ancaman resesi ekonomi tahun 2020.
Menurut dia, hal itu berkaca dari pengalaman krisis ekonomi tahun 1998 di mana sektor UMKM masih bisa bertahan.
Tampilkan Semua