CILACAP.INFO – Rebo atau Rabu Wekasan merujuk pada Bulan Hijriyah, yakni hari terakhir di bulan Shafar. Dimana pada bulan ini, banyak orang melaksanakan amalan yang baik agar terhindar dari musibah ataupun cobaan.
Banyak orang yang meyakini, bahwa sebagai tolak bala, amalan-amalan yang baik pada bulan ini dapat menghindari tolak bala dan adapun salah satu amalan yang kerap dilakukan oleh umat muslim si indonesia yakni Salat Lidaf’il Bala.
Salat Lidaf’il Bala bisa juga dilaksanakan secara bersama dengan masyarakat seperti yang terdapat di kampung-kampung, dimana warga masyarakat di sebuah dusun misalnya, mengadakan kegiatan salat ini yang dipimpin oleh seorang Kiai dan juga dilakukan dzikrullah, puji-pujian (sholawat) kepada baginda Nabi Muhammad Saw dan ditutup dengan do’a.
Terkait pro kontra Rebo Wekasan, dan dalil mengenai amalan-amalannya tentu saja selalu ada. Dilansir NU Online, sebagaimana yang ditulis Oleh Ustadz Ma’ruf Khozin.
Di kalangan umat Islam, khususnya jamaah Ormas NU, hari rabu terakhir di bulan Shafar dalam kalender Hijriyah disebut Rabu Wekasan (Rabu terakhir) dan mereka memiliki tradisi mengadakan shalat tolak bala.
Dan tahun ini, hari tersebut bertepatan dengan tanggal 14 Oktober 2020. Sebagian masyarakat umum maupun sebagian kalangan pesantren mengadakan tradisi doa dan shalat tolak balak. Sebenarnya ada perbedaan pendapat terkait tradisi Rabu Wekasan ini.
Letak perbedaan pendapat hingga munculnya fatwa haram shalat Rabu Wekasan sebenarnya pada titik niat. Menurut kalangan fukaha, melakukan shalat pada hari Rabu tersebut dengan niat sebagai shalat Rabu Wekasan (Rabu akhir bulan Shafar) tergolong bidah yang haram.
Sedangkan kalangan tarekat/sufi yang mengamalkannya mendasarkan pada kasyaf sebagian ulama yang mengatakan adanya turun bala’/bencana pada hari tersebut. Namun bukan berarti NU melarang sama sekali pelaksanaan kegiatan tersebut.
Menengahi dua kalangan tersebut, kalangan fuqaha sendiri mengetengahkan solusinya! apabila shalatnya diniatkan sebagai shalat sunah muthlak atau sebagai shalat hajat, maka hal itu boleh saja. Lebih rincinya sebagai berikut:
Masalah Rabu Wekasan (Rabu terakhir di bulan Shafar) menjadi dinamika yang harmonis di kalangan para ulama kita, ada yang berkenan mengamalkan dan ada yang tidak berkenan. Namun tidak saling membidahkan, apalagi menyesatkan.
Pada umumnya, para ulama yang mengamalkan adalah para kiai yang mengamalkan tarekat. Sebab, kitab-kitab yang menjelaskan masalah ini kebanyakan terdapat dalam kitab yang berkaitan dengan tarekat.
Akan tetapi NU sebagai organisasi yang mewadahi tarekat, yang di badan otonom NU disebut dengan Jamiyah Ahli Thariqah al-Mu’tabarah An-Nahdliyah (Jatman), maka selayaknya bagi Ormas terbesar ini turut serta dalam menjelaskan apa yang sebenarnya boleh diamalkan dan sejauh mana amalan yang tidak diperbolehkan.
Dan kita sudah tahu bahwa para kiai di tarekat, khususnya para mursyid, sangat memahami masalah ini. Intinya, ada dua hal yang harus dihindari, yaitu tathayyur (merasa sial) dan shalat Rabu Wekasan.
Antara Tafaul dan Tathayyur
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ الْفَأْلَ الْحَسَنَ ، وَيَكْرَهُ الطِّيَرَةَ.
Artinya: Abu Hurairah berkata: Rasulullah senang dengan tafaul (mengharap baik) dan tidak suka dengan tathayyur (merasa sial). (HR Ahmad)
عن أَبي هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ « لاَ طِيَرَةَ ، وَخَيْرُهَا الْفَأْلُ » . قَالُوا وَمَا الْفَأْلُ قَالَ « الْكَلِمَةُ الصَّالِحَةُ يَسْمَعُهَا أَحَدُكُمْ » رواه البخارى
Artinya: Dari Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda: Tidak ada kesialan. Sebaik-baik merasa sial adalah tafa’ul” Sahabat bertanya: “Apa Tafaul?” Nabi menjawab: “Yaitu kalimat yang baik yang didengar oleh kalian. (HR al-Bukhari)
Oleh karenanya, banyak ulama kita bertafaul di bulan ini dengan menyebut ‘Shafar al-Khair’, atau bulan Shafar yang baik. Yaitu berharap kepada Allah turunnya kebaikan dan tidak ada petaka. Namun, sudah biasa bagi ulama salafi-wahabi yang selalu banyak tidak sependapat dengan ulama lain, tokoh mereka berkata:
شهر صفر الخير. فهذا من باب مداواة البدعة بالبدعة ، والجهل بالجهل . فهو ليس شهر خير ، ولا شر (مجموع فتاوى ورسائل ابن عثيمين – (ج 2 / ص 90)
Artinya: Bulan Shafar yang baik. Ini tergolong mengobati bidah dengan bidah, mengobati bodoh dengan kebodohan. Shafar bukan bulan baik dan bukan bulan buruk. (Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibni Utsaimin 2/90).
Yakinkan kepada Allah
Dalam rukun iman kita telah diajarkan bahwa baik dan buruk adalah takdir dari Allah. Demikian halnya dalam penjelasan Rasulullah SAW:
قَالَ « أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِى مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ ، فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ ، وَأَمَّا مَنْ قَالَ بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِى وَمُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ » رواه البخارى
Artinya: Allah berfirman [dalam hadis Qudsi]: “Hamba-Ku ada yang iman dan kafir kepada Ku. Jika ia berkata: “Kami diberi hujan karena anugerah Allah dan rahmat Nya, maka ia iman pada Ku dan kafir dengan bintang.” Jika ia berkata: “diberi hujan karena bintang, maka ia kafir pada Ku dan iman dengan bintang. (HR al-Bukhari)
Dasar inilah yang dijadikan pedoman bagi para ulama, seperti yang disampaikan oleh ahli hadits Syekh Abdurrauf al-Munawi:
وَالْحَاصِلُ أَنَّ تَوَقِّيَ يَوْمِ الْأَرْبِعَاءِ عَلَى جِهَةِ الطِّيَرَةِ وَطَنِّ اعْتِقَادِ الْمُنَجِّمِيْنَ حَرَامٌ شَدِيْدَ التَّحْرِيْمِ إِذِ الْأَيَّامُ كُلُّهَا للهِ تَعَالَى لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ بِذَاتِهَا وَبِدُوْنِ ذَلِكَ لَا ضَيْرَ وَلَا مَحْذُوْرَ فيض القدير – ج1 / ص62
Artinya: Kesimpulannya. Menghindar dari hari Rabu dengan cara merasa sial dan meyakini prediksi peramal adalah haram, sangat terlarang. Sebab semua hari milik Allah. Tidak ada hari yang bisa mendatangkan petaka atau manfaat karena faktor harinya. Kalau bukan karena di atas, maka tidak apa-apa dan tidak dilarang. (Faidl al-Qadir 1/62).
Adakah Shalat Rabu Wekasan?
Dengan tegas Hadlratusysyekh KH M Hasyim Asy’ari mengharamkan salat dengan niat Rabu Wekasan:
وَلاَ يَحِلُّ اْلإِفْتَاءُ مِنَ الْكُتُبِ الْغَرِيْبَةِ. وَقَدْ عَرَفْتَ اَنَّ نَقْلَ الْمُجَرَّبَاتِ الدَّيْرَبِيَّةِ وَحَاشِيَةِ السِّتِّيْنَ لاِسْتِحْبَابِ هَذِهِ الصَّلاَةِ الْمَذْكُوْرَةِ يُخَالِفُ كُتُبَ الْفُرُوْعِ اْلفِقْهِيَّةِ فَلاَ يَصِحُّ وَلاَ يَجُوْزُ اْلإِفْتَاءُ بِهَا
Artinya: Tidak boleh berfatwa dari kitab-kitab yang aneh. Anda telah mengetahui bahwa kutipan dari kitab Mujarrabat Dairabi dan Masail Sittin yang menganjurkan salat tersebut [Rebo Wekasan] bertentangan dengan kitab-kitab fikih, maka salatnya tidak sah, dan tidak boleh berfatwa dengannya. (Tanqih al-Fatwa al-Hamidiyah, NU Menjawab Problematika Umat, PWNU Jatim)
Namun, jika memang akan melakukan shalat, maka niatkanlah sebagai shalat hajat, seperti dalam hadits berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى أَوْفَى الأَسْلَمِىِّ قَالَ خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « مَنْ كَانَتْ لَهُ حَاجَةٌ إِلَى اللَّهِ أَوْ إِلَى أَحَدٍ مِنْ خَلْقِهِ فَلْيَتَوَضَّأْ وَلْيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ لْيَقُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ الْحَلِيمُ الْكَرِيمُ سُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ مُوجِبَاتِ رَحْمَتِكَ وَعَزَائِمَ مَغْفِرَتِكَ وَالْغَنِيمَةَ مِنْ كُلِّ بِرٍّ وَالسَّلاَمَةَ مِنْ كُلِّ إِثْمٍ أَسْأَلُكَ أَلاَّ تَدَعَ لِى ذَنْبًا إِلاَّ غَفَرْتَهُ وَلاَ هَمًّا إِلاَّ فَرَّجْتَهُ وَلاَ حَاجَةً هِىَ لَكَ رِضًا إِلاَّ قَضَيْتَهَا لِى ثُمَّ يَسْأَلُ اللَّهَ مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ مَا شَاءَ فَإِنَّهُ يُقَدَّرُ ».
Artinya: Hadis: “Barangsiapa punya hajat kepada Allah atau di antara makhluk Allah, maka wudlulah dan shalatlah 2 rakaat, lalu baca doa ….” (HR Ibnu Majah. Sebagian ulama menilai hadits ini dlaif, namun tetap boleh diamalkan) Maupun shalat sunah mutlak, dan salat tasbih, maka diperbolehkan. Setelah shalat kemudian dilanjutkan dengan berdoa.
Mengamalkan Doa di Rabu Wekasan
Jika berpegang kepada akidah dan syariah di atas maka mengamalkan doa di malam Rabu Wekasan diperbolehkan. Berikut penjelasan ulama ahli hadits Syekh Abdurrauf al-Munawi::
وَيَجُوْزُ كَوْنُ ذِكْرِ الْأَرْبِعَاءِ نَحْسٌ عَلَى طَرِيْقِ التَّخْوِيْفِ وَالتَّحْذِيْرِ أَيِ احْذَرُوْا ذَلِكَ الْيَوْمَ لِمَا نَزَلَ فِيْهِ مِنَ الْعَذَابِ وَكَانَ فِيْهِ مِنَ الْهَلَاكِ وَجَدِّدُوْا للهِ تَوْبَةً خَوْفًا أَنْ يَلْحَقَكُمْ فِيْهِ بُؤْسٌ كَمَا وَقَعَ لِمَنْ قَبْلَكُمْ. فيض القدير – ج 1 / ص 62
Artinya: Boleh menyebut Rabu sebagai ‘sial’ dengan cara untuk memberi peringatan. Yaitu hindari hari tersebut karena pernah turun adzab yang menyebabkan kebinasaan. Perbaharuilah taubat kepada Allah, agar tidak mengalami petaka seperti yang dialami kaum terdahulu. (Faidl al-Qadir 1/62).
Apa saja yang dapat diamalkan? Berikut penjelasannya:
قَالَ ابْنُ رَجَبَ : الْمَشْرُوْعُ عِنْدَ وُجُوْدِ الْأَسْبَابِ الْمَكْرُوْهَةِ الْاِشْتِغَالُ بِمَا يُرْجَى بِهِ دَفْعُ الْعَذَابِ مِنْ أَعْمَالِ الطَّاعَةِ وَالدُّعَاءِ وَتَحْقِيْقِ التَّوَكُّلِ وَالثِّقَةِ بِاللهِ. فيض القدير – ج 6 / ص 562
Artinya: Ibnu Rajab berkata: yang disyariatkan jika ada hal yang tidak disuka, adalah dengan memperbanyak doa tolak bala’, yang terdiri dari perbuatan taat, doa, benar-benar pasrah dan percaya pada Allah. (Faidl al-Qadir 6/562).